Matahari Terakhir Hutan Serelo
Pada webinar intensif Belajar Bikin Konflik Biar Ceritamu Jadi Seru yang diadakan oleh Kelas Bersama dan Tika Widya, peserta diberikan challenge untuk merancang konflik dalam cerita fiksi menggunakan template yang sudah diberikan dari mentor. Kemudian, peserta belajar menulis narasi sesuai dengan rancangan konflik yang telah dibuat. Dari challenge ini, terpilih 3 pemenang yang karyanya diterbitkan di blog Kelas Bersama.
Berikut karya salah satu pemenang, Agnes Davita , dengan judul cerita "Matahari Terakhir Hutan Serelo"
Rancangan konflik :
Nama Tokoh | Lun |
Tujuan | Menjaga hutan yang adalah rumahnya dari rencana pembangunan pemerintah. |
Tantangan | 1. Konflik internal:
2. Konflik interpersonal:
3. Konflik eksternal:
|
Kemampuan | Sejak kecil, Lun sudah diberikan rasa tanggung jawab dalam merawat hutan tempat ia tinggal. Karena itu, tumbuhlah rasa kecintaannya dengan alam. Ia juga seorang pemuda yang gigih dan dapat diandalkan. Ia suka membantu para anggota suku juga orang-orang wisatawan yang datang ia selalu menyambutnya dengan hangat. Namun, Lun juga memiliki jiwa pemimpin, sehingga ia tidak segan untuk bersikap tegas jika ada yang bertindak seenaknya dengan alam. Dan yang terakhir Lun adalah anak yang sangat cerdik. Ia penuh dengan ide dan selalu memiliki caranya sendiri dalam melindungi tempat tinggalnya. |
Perubahan | Melihat tempat tinggalnya akan segera dirusak dan dimusnahkan, Lun yang sekarang seorang diri menjadi tidak berdaya. Ia tidak tahu cara menghentikan puluhan mesin raksasa penghancur itu. Tapi hati kecilnya menggerakannya saat ia melihat kesekelilingnya. Hewan, tumbuhan, dan juga semua anggota suku yang tinggal disana. Mereka sangat mencintai tempat tinggal mereka. Disana terdapat berabad-abad budaya dan peninggalan nenek moyang mereka. Dan juga disana terdapat harapan juga mimpi-mimpi hebat dari para anggota suku. Lun bangkit dan fokus kepada tujuan awalnya. Ia menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu ia harus berdiri untuk sukunya saat tidak ada yang bisa berdiri dengannya. |
Konsekuensi | Dengan jiwa kepemimpinanya Lun mulai menyatukan kekuatan yang dimiliki setiap anggota suku untuk menghentikan setiap rencana busuk pemerintah. Tak hanya itu Lun juga mulai aktif menyuarakan suaranya di kota-kota besar lewat media sosial, tv dan lain sebagainya. Membuat seluruh masyarakat bergerak dan menyuarakan keadilan dan kelestarian bagi suku Serelo. |
Narasi Konflik :
“KAU JUGA MENERIMA UANG DARI MEREKA, KAN, REI??!!” Teriak Lun. amarahnya kini sudah mencapai titik teratas. Mengetahui sang sahabat mengkhianatinya. Seperti para anggota aktivis lainnya yang telah meninggalkan Lun satu per satu. Dan kini Rei, satu-satunya yang tersisa memilih untuk membuka jalan bagi para penguasa mengambil alih rumah mereka untuk proyek pembangunan kota yang tentu keuntungannya tidak main-main. Sekarang berpuluh-puluh truk dan mesin penghancur bergerak mendekati Hutan Gema, tempat tinggal Lun dan para anggota sukunya, Suku Serelo.
Roda-roda besar itu berputar tak kenal rasa takut. Membuat seluruh tanah di dekatnya bergetar hebat. Awan gelap mulai menutupi langit. Bunyi gemuruh terdengar penuh dengan amarah, begitu juga angin kencang mulai bertiup. Meniup kencang dedaunan. “KAU GILA REI!! INI JUGA TEMPAT TINGGALMU! TEMPAT ENGKAU LAHIR!!”
“AKU JUGA INGIN HIDUP NYAMAN, LUN! HIDUP BERGELIMANG HARTA! AKU JUGA INGIN PUNYA KASUR YANG EMPUK UNTUK TERTIDUR! BUKAN RUMAH KAYU SEPERTI ITU!” Rei membela dirinya. “Aku yakin keputusanku ini benar! Keputusanku akan membawa mereka semua bisa tinggal lebih layak! Camkan itu Lun” Rei pun pergi meninggalkan Lun seorang diri yang sudah tidak memiliki kata-kata apapun untuk dilontarkan. Tubuh Lun gemetar, tangannya mengepal dengan kencang, ia hanya bisa menangis dan memendam amarahnya. Hatinya seperti ditusuk oleh ratusan belati.
Tanah tempat ia berpijak tiba-tiba bergetar. Dari jauh terlihat satu per satu pohon mulai berjatuhan membuat suara kencang yang besar dan menakutkan. Seluruh orang di suku itu mulai berlarian kesana kemari dan berteriak-teriak ketakutan. Mereka mulai mengemas barang-barang berharga mereka, sibuk menyelamatkan diri dan anak-anak mereka. Mata Lun terbelalak, nafasnya tidak beraturan, ia ketakutan. Lun merasa ia tidak berdaya saat ini. Ia melihat ke sekeliling, tidak tahu harus melakukan apa. Setelah bertahun-tahun ia dengan sekuat tenaga menjaga Hutan Gema, inikah hasil akhirnya? Lun terjatuh, kakinya lemas, ia hanya bisa menutup matanya sambil menunggu mesin-mesin itu menghancurkan rumahnya.
“Tolong… t-tolong…” suara anak kecil terdengar dengan tangisannya ia meminta tolong. Lun mendengar suara itu, ia membuka matanya dan melihat seorang anak kecil perempuan. Ia duduk di dekat bebatuan sambil memeluk seekor anak rusa yang terluka. Lun pun bangkit dan menghampirinya.
“A-apa kau tidak apa-apa?” tanya Lun kepada anak kecil itu. Anak kecil itu menggelengkan kepalanya sambil mengusap air matanya.
“Tapi dia kesakitan kak… pohon-pohon itu berjatuhan dan melukainya… ibunya sudah meninggal karena menyelamatkannya…” tangan anak kecil itu menggapai tangan Lun. “Kak Lun… apakah kita juga akan selamat? R-rumah kita… ayah… dan ibu… apa yang akan terjadi dengan kita semua kak Lun…”
Lun merasakan gengaman anak kecil itu semakin kuat, matanya penuh dengan harapan. Lun pun sekali lagi menutup matanya dan ia berdiri dengan sebuah tekad. Ia membalikkan tubuhnya ke arah desanya yang kacau. “SEMUA DENGARKAN!!” Suaranya menggelegarkan seperti auman raja hutan membuat seluruh perhatian anggota suku itu kembali padanya. “SEMUA TENANG! KITA HARUS MENYATUKAN KEKUATAN UNTUK MENGHENTIKAN MESIN-MESIN ITU!! SIAPA LAGI YANG BISA MELINDUNGI RUMAH KITA JIKA BUKAN KITA SENDIRI. SAYA TIDAK BISA BERDIRI SENDIRIAN, SAYA MEMERLUKAN KALIAN UNTUK BERDIRI BERSAMA-SAMA!!” Lun mulai menyatukan semua anggota suku. Mereka pun mulai tersadar dan seluruh ucapan Lun tadi di balas dengan sorakan persatuan dari mereka untuk melindungi rumah dan keluarga mereka.
Karya Agnes Davita
Sebagai penugasan di kelas webinar intensif Belajar Bikin Konflik Biar Ceritamu Jadi Seru pada 22 Juni 2024.
Editor : Vanessa Natalie Aritonang