Santet (Cerita Pendek)

Pada webinar intensif Langkah Menulis Cerita Pendek untuk Pemula yang diadakan oleh Kelas Bersama dan Tika Widya, peserta diberikan challenge untuk menulis cerita pendek dengan ketentuan dari mentor. Dari challenge ini, terpilih 3 pemenang yang karyanya diterbitkan di blog Kelas Bersama.

Berikut karya salah satu pemenang, Melinda Wulandari, dengan judul cerita "Santet"

***

Bagi Nada, uang itu segalanya. Wanita itu terpaksa mencicipi asam garam dunia kerja di usia 15 tahun demi bisa sekolah. Untung saja Nada punya paras rupawan. Wajahnya bisa jadi senjata ampuh untuk menggaet lelaki kaya. Lumayan untuk tambahan biaya sekolah dan susu adik-adik. Kalau ditanya cita-cita Nada apa? Pastinya Nada akan menjawab, “menikahi lelaki kaya.”

Pilihan Nada tidak luput dari hujatan orang-orang. Tapi masa bodoh. Kalau bisa jadi orang kaya melalui jalan pintas kenapa harus susah payah membangun kekayaan sendiri?

Setelah sekian lama berjuang, akhirnya Nada berhasil punya karir menjanjikan beserta kekasih kaya raya. Tinggal selangkah lagi Nada akan keluar dari kemiskinan Namun cita-cita tersebut kandas karena wanita jalang merebut kekasihnya. Kini Nada hanya punya karir tetapi justru ikut terancam juga karena rumor jahanam yang tersebar di seantero kantor.

Nada mengacak rambutnya dengan kesal. Setelan formal masih melekat di tubuhnya. Bahkan wanita itu tidak melepas sepatu flat-nya sama sekali. Nada duduk di tepi kasur sambil jarinya sibuk mengetik.

‘Kalau ada kenalan orang pintar tolong kabarin aku ya kontaknya. Butuh banget ini, urgent.’ Begitulah isi pesan yang Nada teruskan ke ratusan kontak di ponselnya.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Wanita itu segera membuka pintu tetapi dia refleks segera menutupnya kembali. Sayangnya kaki si tamu berhasil mengganjal pintu.

Nada menatap tamu itu dengan geram. Orang itu adalah orang yang dikenalnya, Siti, Ibu dari rekan kerjanya Rumi. “Nak Nada, Ibu ingin bicara, Nak. Tolong. Tolong Ibu. Kali ini saja Ibu mau minta tolong pada Nada. Kasihan anak Ibu, Nak. Dia sekarat.”

Darah Nada yang memang sudah naik karena rumor konyol di kantor kini seketika mendidih mendengar rengekan Siti. Wanita itu membuka pintu lebar-lebar lalu meluapkan kekesalannya.

“Kasihan? Kenapa saya harus kasihan dengan anak Ibu? Rumi sudah merebut calon suami saya! Seharusnya Ibu yang kasihan pada saya! Kenapa malah jadi saya yang harus kasihan pada anak Ibu? Biar mampus dia kena karma! Siapa suruh jadi perempuan kok kegatalan merebut calon suami orang!”

Mata Nada seketika membola saat tiba-tiba Siti bersimpuh di hadapannya. Keributan kecil di tengah area kos yang sepi sukses mengundang beberapa penonton dadakan. Bukannya iba, justru semakin naik pitam. Kalau begini pasti kesannya Nada bagai malin kundang yang tega tidak mengakui ibunya sendiri.

“Ibu minta maaf atas nama Rumi, Nak Nada. Rumi memang salah karena merebut Andre dari kamu. Ibu gagal mendidik dia menjadi perempuan bermartabat. Tapi tolong maafkan Rumi, Nak. Tolong cabut santet yang kamu kirimkan pada Rumi, kasihan dia. Kamu boleh sakit hati tapi jangan sampai bersekutu dengan iblis.”

Beberapa penonton terkesiap. Setelah itu suara bisik-bisik menggema di seantero kos-kosan. Wanita itu lantas tertawa kencang. Dasar ibu dan anak sama saja, sama-sama hobi playing victim.

“Oh jadi Ibu yang menyebarkan rumor konyol di tempat kerja saya kalau saya menyantet Rumi?”

Siti menggeleng. “Ibu tidak bermaksud menyebar rumor. Itu hanya dugaan saja. Lagipula siapa lagi orang yang akan senang jika Rumi menderita kalau bukan kamu?”

Baru saja Nada hendak membalas, ponselnya berdering. Dia mengangkat ponsel tersebut lalu rautnya berubah menjadi sedikit berseri. Setelah panggilan berakhir, Nada mengatur napasnya sebentar lalu menatap Siti.

“Hanya kali ini saja saya bantu Rumi. Kalau sampai terbukti saya bukan pelakunya, Ibu harus membersihkan nama saya dari tuduhan santet yang Ibu sebarkan di kantor.”

Ibu Siti langsung setuju. Mereka berdua berangkat bersama dengan taxi online untuk menjemput si Kiai yang direkomendasikan kenalannya di telpon barusan. Setelah itu mereka bertiga datang ke tempat Rumi.

Begitu tiba di kediaman Rumi, entah mengapa bulu kuduk Nada seketika berdiri. Suasananya aneh. Matahari memang sudah tergelincir tetapi hawa dingin angin malamnya beda. Rasanya lebih dingin dan menusuk. Belum lagi kondisi rumah sepi dan pencahayaannya temaram.

Siti mengarahkan mereka untuk masuk ke rumah mewah bergaya eropa itu. Rumahnya luas sekali dengan pilar-pilar besar yang menopang plafon. Mereka sampai di satu kamar. Nada terkejut setengah mati melihat sosok yang terbaring lemah di ranjang.

“Rumi?”

Sosok itu menoleh. Matanya yang besar tampak seolah akan keluar dari tempatnya karena wajahnya kehilangan banyak lemak. Tubuh Rumi kurus kering seakan tinggal tulang dan kulit saja. Wajahnya pucat pasi dan pipinya cekung.

Si Kiai meminta Ibu Siti untuk memakaikan mukena pada Rumi. Setelah itu proses ruqyah berlangsung. Entah mengapa Rumi berteriak kesakitan mendengar lantunan kitab suci. Sekitar setengah jam prosesnya pun diakhiri dengan Rumi yang muntah-muntah hebat.

“Bagaimana anak saya, Pak? Siapa yang mengirim santet ke anak saya?”

Pak Kiai menggeleng. “Bukan santet, Bu. Tapi anak Ibu sudah menjadi target tumbal.”

Rumi dan Ibu Siti terkesiap. Di dalam hati Nada lega bukan main. Karirnya selamat!

“Siapa yang tega menumbalkan anak saya Pak?” Ibu Siti terisak sembari memeluk putrinya yang lemas.

“Saya kurang tahu. Tapi anak Ibu masih bisa diselamatkan.”

“Bagaimana caranya, Pak?”

“Anak Ibu sudah menikah?”

“Iya, baru satu bulan yang lalu.”

“Semua mahar yang pernah dipakai, kembalikan lagi sesuai nominal dan wujudnya sewaktu akad nikah. Setelah itu jangan pernah tinggal salat lima waktu, salat taubat, salat tahajud, serta perbanyak dzikir. Dirutinkan selama 7 hari berturut-turut ya Mbak Rumi, Ibu Siti. Untuk sementara jangan tinggal di sini dulu. Rumah ini auranya tidak enak.”

“Efeknya kalau berhasil apa ya Pak?”

“Kalau tumbalnya gagal, kemungkinan besar kembali ke orang yang menumbalkan.”

Setelah itu Pak Kiai dan Nada pamit. Tidak sedikit pun Nada melihat batang hidup Andre selama ruqyah barusan. Padahal Rumi sedang sakit keras seperti itu kok tinggal sendirian di rumah. Ah ya sudahlah. Rumah tangga orang bukan urusan Nada.

Satu minggu kemudian Nada mendengar kabar bahwa Andre meninggal dunia. Jam kerja dipotong setengah hari untuk melawat. Tetapi yang membuat Nada heran adalah Rumi segar bugar. Saking segarnya dia sudah bisa berjalan ke sana kemari dengan lincah mengurus pemakaman suaminya sendiri. Mereka bertemu pandang sebentar lalu wanita itu menghampiri Nada.

“Kamu tahu nggak kalau Mas Andre sudah pernah menikah?”

Nada mengangguk. Rumi bertanya lagi, “Kamu tahu ke mana mereka sekarang?”

Gelengan kepala Nada dibalas oleh senyuman penuh arti oleh Rumi. “Mereka semua mati. Sebelum mati, mereka juga sakit sepertiku.”

Seketika itu juga tubuh Nada seperti disiram air es. Dia menatap jasad Andre yang telah dikafani lalu menatap Rumi. Nada tersenyum miring.

“Terima kasih telah menggantikan posisiku, Rumi.”


Karya Melinda Wulandari
Sebagai penugasan di kelas webinar intensif Langkah Menulis Cerita Pendek untuk Pemula pada 25 Mei 2024.

Editor : Vanessa Natalie Aritonang