Satu Tusuk Sate

Derit besi yang bergesekan terdengar jelas dari tempatku duduk. Dengan segera kaki ini bergerak menuju pintu, seolah berlomba, tak ingin keduluan orang lain. Kugenggam gagang pintu, lalu menariknya dengan perasaan membuncah yang coba kutahan agar tak terlihat berlebihan. Aku menatapnya, berbalik badan setelah menutup gerbang, memperlihatkan raut wajah lelahnya. Hanya satu yang bisa kuberikan saat ini, senyum terbaik menyambut kedatangannya, sekalipun ia tak pernah membalasnya.

Dari arah belakang terdengar salah satu adikku berteriak mengatakan ayah pulang. Adikku yang lainnya berlomba menghampiri ayah, memeluk kakinya dan mengambil bawaannya. Ayah memberikan kantong kresek hitam pada adik lelakiku, anak terkecil berusia empat tahun. Lalu masuk kedalam rumah, melewatiku dan kedua adik perempuanku yang menatap nanar kepergiannya.

Di dalam rumah, ibu menyambut ayah dengan secangkir teh hangat. Adik lelakiku yang sudah terlebih dahulu masuk kedalam rumah berseru riang sambil melompat, setelah membuka buah tangan ayah. Seketika wangi yang khas menyerbak memenuhi rumah kecilku.  Jantung ini berdetak cepat. Senyumku yang tadinya pudar, perlahan kembali naik. Rasa bahagia menghampiri, meyakini makanan itu untukku yang sedang berulang tahun. Lapar yang sedari sore hadir, kini semakin menggila, tak lagi bisa kutahan.

Gegas ibu mengambil sebakul nasi yang masih hangat, aku turut membantu menyiapkan piring dan sendok. Saus kacang khas bumbu sate ibu tuangkan diatas nasi, lalu diberi tambahan kecap yang tersisa sedikit. Diaduknya agar menyelimuti seluruh butiran nasi. Bertahap, piring-piring yang itu mulai terisi nasi hangat berbalut bumbu. Dengan sorot mata berbinar cerah, ketiga adikku duduk manis bersebrangan denganku.

Ayah menjulurkan tangannya, mengambil dua tusuk sate dan menaruhnya di piring adik lelakiku. Seketika  itu pula senyumku lenyap, sudah terbayang apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Makan yang banyak biar cepat besar,” ucap ayahku sambil mengelus kepala adikku dengan penuh kasih sayang.

“Buat sarapan Re,” lanjutnya, sambil menyerahkan dua tusuk sate lainnya kepada ibu untuk disimpan.

Ibu mengambilnya dan meletakkan di kotak bekal hadiah sabun cuci piring. Dengan perlahan menahan pedih, aku menaruh dua tusuk sate ke piring ayah dan masing-masing satu tusuk sate ke piring ibu dan dua adik perempuanku. Rasa lapar itu hilang tak bersisa, berganti perih di hati yang entah sampai kapan akan berakhir. Tak ada lagi pancaran berbinar melihat makanan favoritku, yang dulunya hanya bisa kudapatkan satu tahun sekali. Hingga waktu itu tiba, saat manusia terkecil dirumah ini mengatakan menyukainya, tak lagi terhitung berapa kali ayah membawanya. Tak jarang pula hanya setengah porsi yang Ia bawa, saat Re sakit atau sedang mogok makan. Sedangkan kami harus tetap bersyukur mendapatkan protein dari olahan kedelai.

“Hari ini Kakak ulang tahun,” ucap ibu tiba-tiba bersamaan dengan berpindahnya dua tusuk sate ke piring ku.

Seketika aku menatap ibu yang juga sedang menatapku hangat. Kutahan sekuat tenaga agar air tak jatuh dari kedua mataku. Aku tak lagi bisa mendefinisikan rasa yang hadir saat ini, semua bercampur menjadi satu.

Ingatanku terlempar kemasa itu, tepat setelah adik keduaku lahir. Tak ada sambut haru bahagia. Air mata ibuku tumpah mendengar ucapan kecewa keluar dari mulut belahan jiwanya. Lima belas tahun menanti, tak kunjung bayi lelaki harapan ayah hadir dari rahim ibu. Puncaknya saat ayah mengatakan perjuangan ibu sia-sia.

Perkataan ayah bukan hanya menghancurkan ibu yang baru saja selesai berperang diantara hidup dan mati, namun juga menghancurkanku. Lelaki yang manjadi cinta pertamaku, seolah menghunuskan pedang yang sangat dalam. Aku patah hati, untuk pertama  kali. Sekalipun ucapan itu tak ditujukan untukku.Saat itu pula, aku meyakini kehadiranku tidak benar-benar diharapkan. Hanya anak laki-lakilah yang ia inginkan.

Ayah bukanlah sosok yang dekat dengan anak-anaknya, kupikir memang begitulah seorang ayah. Saat berbagi cerita dengan teman-temanku, mereka juga mengatakan tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Ayah sesekali mengelus kepalaku, saat aku juara lomba serta saat aku berulang tahun yang naasnya harus berakhir saat memasuki masa remaja.

Kelahiran Re tidak banyak mengubah suasana rumah ini. Walau begitu, satu hal yang pasti, perbedaan itu semakin jelas.Tak pernah kulihat sekalipun ayah membawakan susu untuk Asti, adik keduaku. Berbeda jauh dengan Re, ayah gemar membeli susu beraneka merek. Katanya ASI takkan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi Re. Bergantian dengan ASI, ibu suapkan perlahan susu formula menggunakan sendok. Bidan melarang menggunakan dot agar Re tidak bingung puting.

Berbagai merek susu yang ayah bawa hasilnya sama, sekujur tubuh Re penuh ruam merah dan membuatnya menangis seharian penuh. Akhirnya ayah berhenti membelikan susu setelah bidan mengatakan kemungkinan Re alergi susu sapi. Asti lah yang berjasa menghabiskan susu-susu itu, sekalipun secara usia sudah tidak cocok lagi. Tubuh Asti semakin gembul dan menggemaskan. Pipinya selalu menjadi korban cubitanku dan Nana, adik pertamaku. Ibu yang sudah lelah mengurus Re tidak pernah melarangku mengusili Asti.

"Jangan sampai nangis!" Hanya itu yang ibu ucapkan.

Sayangnya tubuh dan tingkah Asti yang semakin lucu, tidak juga melunturkan sikap dingin ayah. Tak pernah kulihat ayah berinteraksi dengan Asti. Pelukan yang sering Asti berikan di kakinya tak pernah sekalipun dibalas. Sedangkan denganku dan Nana, kami masih berkomunikasi walau hanya beberapa kata.

Kembali ke masa kini, hanya aku dan Nana yang makan dengan perlahan. Jika tidak salah hitung, di usia lima tahun pertama kalinya aku mencicipi sate. Salah satu tetanggaku membagikan nasi kotak, syukuran anak lelakinya yang lolos seleksi pegawai negeri. Saat itu juga aku langsung jatuh hati, dan mengklaimnya sebagai makanan favorit. Walaupun berbulan-bulan setelahnya, tak juga aku kembali merasakan nikmatnya makanan itu.

Selama ini, tidak pernah sekalipun ibu menanyakan makanan apa yang ingin ku makan.

"Cepat makan, belum tentu besok kamu bisa makan!" Begitu pesan ayah ketika aku merasa bosan dengan lauk tahu tempe dan sayur berwarna hijau yang hampir setiap hari dimasak ibu.

Namun malam itu terasa berbeda, menjelang tidur ayah bertanya padaku dengan wajah penuh senyum. "Rara, besok mau makan apa?"

Sontak aku berteriak riang. "SATE !!"

Ulang tahunku yang ke enam, menjadi tahun pertama ayah memberikan hadiah. Perayaan ulang tahun dengan menu sate berlanjut hingga beberapa tahun kemudian. Hanya setengah porsi sate yang mampu ayah hadirkan setahun sekali. Itupun aku harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Hanya Nana yang tidak begitu menyukai ayam, apapun olahannya. Namun tetap ia makan sesuai dengan nasihat ayahku. Sayangnya hal itu tidak berlaku untuk Re, ayah akan berusaha memberikan lauk yang Re mau agar ia makan.

**

Ingatan-ingatan itu membekas kuat, masih terasa goresannya di relung hatiku. Sekalipun sudah sepuluh tahun, aku tak lagi berada di rumah itu. Kini aku bisa makan seporsi sate sendirian, kapan saja tanpa menunggu ulang tahunku tiba. Tanpa perlu merasa iri dengan Re. Kuambil satu tusuk sate, dan kugigit perlahan. Rasanya masih sama seperti sepuluh tahun terakhir, hampa.