Storytelling, 7 Yang Perlu Diceritakan
Storytelling adalah tentang bagaimana menyampaikan apa pun gagasan dan karya kita bisa narasi tentang diri sendiri, lembaga, komunitas, gerakan sosial dan lain sebagainya, sehingga aspek manusia jadi terasa lebih menonjol. Marketing tak lagi hanya urusan teknis hard selling.
Algoritma adalah mantra hidup masa kini. Selera pasar, perilaku konsumen, semua dipetakan sangat detil oleh data raksasa yang terangkum di media sosial dan ratusan apps. Karenanya, bersaing di era yang didominasi perangkat elektronik dan artificial intelligence (AI) pun menjadi lebih menantang. Kuncinya, “Anda harus bisa lebih menyelami dan lebih menjadi manusia,” kata Wimala Djafar, orang muda perencana strategi di Hakuhodo Agency. “Anda harus bisa menyentuh hidup, mimpi, cita-cita target konsumen Anda. Be human, stay unpredictable.”
Storytelling, penceritaan, adalah tentang bagaimana menyampaikan apa pun gagasan dan karya kita –bisa narasi (branding) tentang diri sendiri, lembaga, komunitas, gerakan sosial, kampanye positif, beraneka produk, keindahan alam sebagai tujuan wisata, dan lain sebagainya –sehingga aspek manusia jadi terasa lebih menonjol. Marketing tak lagi hanya urusan teknis hard selling. Ada wajah manusia dalam karya dan gagasan yang kita sampaikan. “Menjadi manusia itulah keunggulan kita. Mesin tak mungkin menandingi,” kata Wimala
Janoe Aryanto, Dentsu Indonesia, juga menegaskan pentingnya menonjolkan keunikan, lokalitas, dan karakter lokal. Karangasem, Bali, misalnya, begitu melekat dalam ingatan Janoe. Upacara ritualnya, para perempuan yang berbaris menyunggi canang (sesajen) menuju pura, lantunan mantra yang diucapkan para pendeta saat upcara adat, bahkan gerimis yang menimpa dinding Pura Besakih. Semuanya khas, menunjukkan jiwa dan spirit Bali. “Itu sebabnya, tagline Karangasem sebagai The Spirit of Bali sungguh tepat,” kata Janoe. “Karangasem tidak perlu jor-joran menyajikan hiburan yang gemerlap. Spirit of Bali, sesuatu yang mendalam dari jiwa, itulah yang akan menyentuh orang.” Emosi orang modern, yang butuh mengisi sisi spiritualitas, dipenuhi oleh Karangasem.
Karakter dan aspek manusia tampil itulah yang membuat orang lebih mudah tersentuh. Tak berhenti di sini, kita bisa berharap mereka akan mengikuti ajakan kita, misalnya bergabung dalam gerakan perubahan sosial yang kita inisiasi, membeli produk kita, atau mendatangi destinasi yang kita kisahkan. Resep storytelling ini pun bukan hanya berlaku bagi pengusaha, tetapi juga bagi penggerak sosial, aktivis LSM, praktisi usaha rintisan, dan juga praktisi sociopreneurship. Storytelling memang sebuah resep kuno yang semakin penting di masa otomasi dan kecerdasan buatan.
Lalu, bagaimana mulai bercerita? Sering kali inilah yang membikin orang bingung dan mematung. Bingung hendak memulai cerita dari mana, apa yang mau diceritakan, dan bagaimana menceritakannya.
Di dunia jurnalistik, kita mengenal angle atau sudut pandang http://tempo-institute.org/berita/tips-menulis-tentang-angle-tulisan/. Kita bisa mengadaptasi jurus angle ini untuk menarasikan karya atau gagasan kita. Sudut pandang yang akan kita ulas dalam tulisan kita, yang bisa berupa unggahan di medsos, artikel di website, atau vlog. Setiap cerita harus punya angle. Nah, untuk storytelling produk, kita bisa menggunakan panduan angle berikut ini:
- Detail produk
Gali dan identifikasi produk Anda, lalu ceritakan apa yang istimewa, apa yang paling menarik, apa yang unik, apa yang berbeda dari produk lain yang serupa? Bagaimana prosesnya? Apa yang membuat produk Anda berbeda dari yang lain dan layak jadi pilihan? Apakah karena Anda mewarisi resep keluarga tujuh turunan, atau bagaimana?
Di akun IG Tempo Institute, kami bercerita tentang proses pelatihan di Tempo Institute yang berbeda dibanding kelas-kelas pelatihan lain. Ada proses mentoring intensif dengan redaktur Tempo, ada proses fasilitasi yang menyenangkan, ada praktik menulis yang langsung dievaluasi mentor. Semua proses ini penting dikisahkan, sebagai poin pembeda (diferensiasi) dengan produk serupa yang ada di pasar.
Cerita tentang proses belajar di kelas-kelas Tempo Institute, selalu dilengkapi dengan proses fasilitasi dan mentoring bersama redaktur Tempo
2. Value atau nilai yang Anda ingin lekatkan pada produk Anda
Apakah Anda ingin produk Anda mewakili semangat ramah lingkungan, mengangkat budaya lokal, peduli komunitas, menomorsatukan kualitas? Jurus Citra Subiyakto, CEO Batik Sejauh Mata Memandang, dengan membuat tas dari bahan singkong adalah contoh yang menujukkan cerita tentang nilai, bahwa produk batik Citra identik dengan produk yang ramah lingkungan.
IG Sejauh Mata Memandang, tak hanya bercerita tentang kain batik produknya tetapi juga tentang bagaimana konservasi hutan, kehidupan gajah liar, untuk menyampaikan value ramah lingkungan kepada target konsumen / audiens.
3. Siapa pelanggan Anda?
Carilah testimoni atau pengalaman pelanggan yang punya kisah unik, bisa jadi karena dia orang terkenal (seperti kisah Jokowi dan sepatu Nah Project), atau bisa jadi karena pelanggan Anda orang biasa yang rela membelanjakan uangnya demi mengangkat budaya lokal. Apa kira-kira mimpi, cita-cita, sumber kebahagian, atau sumber kesedihan target audience Anda? Tempatkan diri Anda pada sepatu target audience, rasakan emosi mereka. Lalu, ceritakanlah.
IG Nah Project. Presiden Joko Widodo mengenakan produk Nah Project.
4. Bagaimana perjuangan Anda?
Setiap usaha punya pergulatan dan perjuangannya sendiri. Tak ada yang tiba-tiba sukses. Menceritakan perjuangan bukan hal yang tabu. Kisah Rizky dan pencarian vendor bisa dijadikan contoh, begitu pula kisah Kolonel Sanders, founder Kentucky Fried Chicken, yang berkali-kali ditolak investor. Apa yang membuat Anda tak bisa tidur malam-malam dalam kaitan karya Anda, mungkin hal itu juga layak diceritakan.
5. Bagaimana rantai pasokan (supply chain) produk Anda?
Anda bisa bercerita dari mana pewarna tenun dibeli, di mana kopi dipanen, dari mana asal rempah-rempah buat produk makanan Anda dibeli, dan seterusnya.
Foto IG Javara, mengisahkan rantai produksi, bahan baku organik diambil.
6. Siapa partner kerja, karyawan, atau kru Anda?
Apakah Anda bekerja dengan komunitas perempuan penenun, apakah Anda bekerja dengan teman-teman difabel, atau apakah Anda bekerja dengan kelompok milenial yang sangat berbakat dengan perilaku yang unik? Ceritakanlah.
IG Toraja Melo, bercerita tentang Mama-Mama penenun di Toraja yang menjadi lebih berdaya setelah bergabung dengan Toraja Melo. Tak sedikit penenun yang menghidupi keluarga sebagai single mother. Setelah mengikuti berbagai program Toraja Melo, yang awalnya penenun cuma sedikit dan umumnya berusia sepuh, kini telah muncul generasi penenun yang lebih muda.
7. Bagaimana usaha ini mengubah Anda dan orang-orang yang terkait?
Seandainya karya Anda mengubah hidup orang lain, itu adalah hal yang sangat penting dan inspiratif untuk diceritakan. Misalnya, perempuan penenun di NTT menjadi lebih berdaya dan bisa melepaskan diri dari kekerasan dalam rumah tangga setelah bergabung dalam komunitas penenun untuk produk yang Anda inisiasi. Atau, boleh jadi Anda menjadi lebih sehat setelah memproduksi lini produk makanan organik yang Anda buat? Sekali lagi, ceritakanlah.
IG Duanyam, bercerita tentang bagaimana tas anyaman dibuat di pedalaman Kalimantan oleh Suku Dayak. Mulai dari bagaimana rotan dipanen, dibelah, dikeringkan, hingga dianyam, semua dikisahkan dengan menarik.
Nah, mudah bukan? Silkan bereksperimen, narasikan karya dan gagasan Anda dalam storytelling yang memikat. Pesan Rizki Arief Prakoso, CEO Nah Project, sangat perlu kita ingat dan terapkan, yakni ceritakanlah kisahmu, gali lebih dalam, dan jangan bohong. “Tell your stories. Go deeper. Be honest!”
Tulisan ini merupakan karya Mardiyah Chamim yang telah dipublikasikan di Blog.TempoInstitute.com