Tembok-Tembok Rumah Sakit
Kira-kira pukul 8 malam, detak jantung ibu berpacu lebih cepat dari biasanya. Wajahnya pucat, ia mengeluh sesak di dada, lehernya basah karena keringat dingin. Melihat keadaannya yang tak wajar membuat ayah bergegas membawa ibu ke rumah sakit. Gejala sekecil apapun yang dialami penderita jantung koroner tidak boleh dianggap enteng. Ayah tidak mau mengulangi kesalahannya seperti dulu yang menyebabkan ibu harus terbaring di ruangan pasien khusus selama 2 minggu akibat penanganan yang sedikit terlambat.
Malam itu juga, mobil kami bergerak menembus kemacetan Kota Malang mengarah ke rumah sakit rujukan khusus penderita jantung. Begitu tiba, ibu yang sudah setengah lemas membaringkan diri di atas ranjang beroda menuju ruang UGD. Ruangan itu sudah sering kami singgahi ketika kondisi ibu mendadak gawat. Aku bersumpah dalam hati, agar jangan sampai salah satu dari keluargaku kembali ke sini. Namun malam ini sumpah itu tidak penting lagi, kesembuhan ibu yang paling penting.
Dokter dan beberapa perawat sibuk mengatur kabel-kabel panjang yang menjuntai dari dada ibu. Mereka menempelkan sensor-sensor kecil mirip earphone di berbagai titik tubuh yang terhubung dengan kotak mesin mirip monitor komputer berukuran sedang. Layar monitor itu menampilkan grafik berwarna hijau, kuning, dan putih yang saling bersahutan, berirama. Jika jantung si pasien masih berdenyut ia akan terus mengeluarkan bunyi “tit, tit, tit” seperti yang ada di adegan film-film. Namun bagi telingaku, suara monitor itu terdengar seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Apabila monitor tersebut menunjukkan grafik lurus, atau lampunya berubah menjadi merah dan terdengar bunyi panjang seperti : “tiiiit….,” Saat itu pula kalang kabutlah aku ke luar kamar memanggil perawat atau siapa saja yang berjaga. Tandanya, waktu peziarahan ibu telah habis dan aku mesti menjalani hidup merana sebagai anak piatu. Aku belum siap menjadi anak piatu. Rasanya ingin kusingkirkan saja monitor berisik itu.
Tembok-tembok Rumah Sakit selalu merekam penderitaan kesakitan dan beragam emosi manusia yang tertahan. Seorang anak laki-laki di sebelah kanan ranjang ibuku menangis menjerit-jerit, di sampingnya ada sesosok wanita yang sedia mendampingi dengan raut wajah tenang seakan air mukanya mengatakan “bertahanlah nak, rasa sakit ini akan segera berlalu..” Di sudut lainnya, kudengar erangan wanita, “Ya Allah, Ya Allah, sakit sekali Ya Allah!”, begitu keras erangannya. Seluruh ranjang penuh oleh pasien yang membawa segenap rasa sakit dan air matanya, mulai anak-anak hingga dewasa.
Pukul sebelas malam, ibu dipindahkan ke ruang kamar di lantai 3, lantai paling atas rumah sakit ini. Bangunannya kuno berdinding cat kusam dan setiap kamar dibatasi oleh sekat triplek kayu yang tipis. Kali ini ruangannya lebih sempit dibanding sebelumnya. Hanya ada satu kursi bagi penunggu pasien dan sebuah laci kecil untuk meletakkan barang-barang.
Monitor jantung itu berbunyi lagi, posisinya ‘berjongkok’ persis membelakangi ibu disertai cahaya kuning menyala berkedip-kedip. Peraturan rumah sakit menetapkan bahwa penunggu pasien hanya boleh didampingi satu orang saja sehingga ayah memutuskan bahwa akulah yang akan menjaga ibu malam ini, sementara ia akan datang keesokan paginya. Kami berbagi tugas, sebab ayah juga mesti mendampingi nenek yang juga sedang sakit di rumah. Aku dan ayah menjalankan peran sebagai anak yang merawat ibu kami masing-masing.
Di lantai ini pula, hanya ibu saja pasien yang menggunakan monitor jantung tersebut, maka setiap orang yang lewat bisa mendengar dengan jelas suara mesinnya sampai ke penjuru lorong rumah sakit. Saat kondisinya lemah seperti itu, ibu masih ingin berbagi sisa ranjangnya kepadaku supaya aku bisa turut serta beristirahat sembari berjaga daripada tidur di kursi semalaman. Aku bilang tidak apa-apa, lagipula ranjang itu sudah tidak menyisakan ruang sedikit pun sebab sisanya sudah dipenuhi sulur kabel-kabel mesin monitor jantung yang melilit bagai bola besi menggandul di tubuhnya.
Suara-suara erangan pasien ruangan sebelah merambat lewat tembok kamar kami. Sepertinya itu suara bapak-bapak. Ia menggerung-gerung menahan sakit sambil menyebut-nyebut nama Tuhan hendak memohon ampunan akibat tak kuat lagi menanggung rasa perih yang tak tertahankan. Entah, penyakit apa yang ia derita tapi sepertinya amat menyakitkan sehingga bunyi rintihannya sedemikian keras.
Demi membunuh waktu, aku membaca buku pascakolonial yang baru dibeli dari acara peluncuran buku kemarin sore. Sayangnya, aku tidak bisa membaca dalam kondisi kalut seperti ini, sebab pikiranku hanya tertuju kepada sosok di depanku, pada sesuatu yang belum siap untuk aku hadapi kemungkinan terburuknya. Semuanya menjadi tak beraturan. Rasa lelah dan penat yang kurasakan setelah mengalami hari panjang seusai bekerja tak lagi terpikirkan ketika memandang ratap mata ibu. Matanya menyembunyikan banyak arti yang tak dapat kumengerti. Banyak yang berbeda darinya. Kudapati segala hal yang selama ini luput dari pengawasanku. Di wajahnya nampak berbagai kerut muka dan surai putih bertumbuh subur di sekitar ubun-ubunnya. Terlalu banyak gejala penuaan ibu yang ketara. Sebanyak waktu yang kuhabiskan untuk berkelakar dengan segala urusan duniawi. Sebanyak waktu yang ibu butuhkan untuk merawat kami atau berjuang mengobati sakitnya sendiri.
Jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari, namun mata ibu tak bisa terpejam. Kubacakan satu bab dari buku pascakolonial itu, barangkali cerita sejarah akan membuat mulutnya menguap. Meskipun sudah kubacakan sesuatu, kantuknya tak kunjung datang, terlihat dari bulu matanya berayun tak tenang. Badannya gelisah tak nyaman. Tak lama, dua orang perawat masuk ke kamar dan meminta monitor jantung itu dipinjamkan kepada pasien darurat yang sedang mengalami masa kritis. Tangan-tangan mereka begitu cekatan melepas kabel-kabel itu satu persatu dari tubuh ibuku. Sembari merapikan peralatan mereka mengatakan kepadaku bahwa ibu akan baik-baik saja. Rumah sakit ini memang besar namun mengapa fasilitas kesehatannya begitu memprihatinkan? Aku hanya dapat berdoa setulus hati, semoga pasien itu segera bebas dari masa kritisnya dan alat monitor jantung itu bisa kembali lagi ke ruangan ini meski bunyinya begitu mengganggu.
Pada pukul 3 dini hari, tiba-tiba terdengar suara tangisan yang memecah kesunyian lorong lantai tiga. Aku terkejut, ibu juga sama terkejutnya. Kali ini bukan terdengar seperti tangis karena kesakitan oleh penyakit, tetapi tangisan kesedihan karena ditinggalkan yang terkasih. Lama.. lama sekali suara itu meraung-raung, mengerikan.. menyedihkan..!
“Ibuk ditinggal bapak nduk..ibuk karo sopo saiki..” (Ibu ditinggal bapak, nak… ibu sama siapa sekarang?)
“Buk, pun mboten ngendikan ngoten, enten kulo teng mriki..”(Ibu jangan bilang begitu, ada saya di sini..)
Demikianlah, seorang ibu berkerudung merah bersama putri semata wayangnya saling menguatkan pundak satu sama lain, mengikhlaskan kepergian terakhir kepada almarhum yang baru saja meminjam monitor jantung ibuku. Doaku yang semula mengharapkan agar pasien itu bebas dari masa kritis ternyata malah terbebas sepenuhnya dari penderitaan dunia. Rupaya, Tuhan lebih menghendaki agar pasien darurat itu berpulang ke pangkuan-Nya.
Sekarang, mataku dan mata ibu bertemu pandang. Telinga kami baru saja mendengar peristiwa kematian. Menyimpan kekosonganku dan kekosongan ibuku. Kami menunggu malam yang masih berhenti di tengah-tengah ufuk. Semuanya masih diam. Termasuk perutku dan segala isi yang aku masukkan. Bibirku tidak sanggup untuk mengatakan apapun. Ada yang ingin terlontar dari mulutku tapi semuanya tertahan. Monitor jantung tadi telah membunyikan suara yang aku takuti selama ini. Bunyi panjang yang menandakan detak jantung seseorang telah berhenti selamanya. Bunyi monitor itu adalah bom waktu yang meledak tepat pada waktunya kemudian memekakkan telinga-telinga ibu dan anak itu. Aku menutup kedua telingaku karena tidak ingin dan tidak pernah siap untuk mendegar suaranya sekarang. Sekali lagi, tembok-tembok rumah sakit selalu merekam kesedihan atas kesakitan yang diderita manusia dan kini tembok-tembok itu seolah terlihat runtuh lalu memekakkan kedua telingaku. Aku tidak sanggup membendungnya dan seketika jatuhlah air mataku.
Setelah tangis mereka mulai reda, dua orang perawat tadi masuk ke kamar kami dan menyambungkan kembali “rantai-rantai” kabel monitor jantung ke tubuh ibuku. Kami semua masih dalam mode diam. Dan aku pun terduduk seperti patung. Aku dan ibu tenggelam dalam lamunan, menyebabkan aura bisu menyelimuti suasana kamar lebih pekat. Kedua tanganku bersembunyi dibalik jaket. Sementara ibu berbalik memunggungiku. Semua orang di lorong itu sunyi. Berdiam diri di kamar masing-masing dan pada posisi terakhir mereka. Orang-orang memilih untuk tak peduli. Tidak ingin mendengar suara tangisan itu meskipun harus mendengarnya juga. Sisa waktu menuju pagi tinggal beberapa jam lagi dan aku hanya bisa berharap kepada yang Maha Kuasa agar kondisi ibu segera pulih seiring menunggu kemilau fajar menggantikan suramnya malam.
Aktivitas di lorong lantai 3 mulai bergerak. Aku mendengar sapaan selamat pagi seorang perawat pria berpenampilan rapi seraya membawa peralatan tensi dan obat suntik untuk mengecek kondisi ibu. Akhirnya aku beranjak setelah 7 jam duduk manis. Pantatku serasa menghilang dari tempatnya. Kemudian, ibu menatapku dan menyuruhku mengambil ember air hangat setelah semalam suntuk mengikatku dalam kebisuan. Segera kusiapkan air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan diri. Seusai ibu bersih-bersih, sarapan pagi dan cek tensi darah, ayah muncul dibalik tirai. Ia datang untuk menggantikanku menjaga ibu. Aku berpamitan kepada mereka bersiap-siap pergi bekerja. Tanpa tidur. Tanpa makan dan minum. Kekosongan masih terus mengikuti. Aku melajukan motor menuju kantor dan bekerja seperti biasanya, seakan tidak terjadi apapun di hari kemarin.