Tersesat dalam Pulang (Cerita Pendek)

Tersesat dalam Pulang (Cerita Pendek)

Pada webinar intensif Teknik Menciptakan Karakter yang Kuat dalam Cerita Fiksi yang diadakan oleh Kelas Bersama dan Feby Indirani, peserta diberikan challenge untuk menulis karakter yang kuat menggunakan template yang sudah diberikan dari mentor. Dari challenge ini, terpilih 4 karya terbaik.

Berikut karya salah satu pemenang, Farijihan Ardiyanti Putri, dengan judul cerita "Tersesat dalam Pulang"

Winarsih, gadis yatim piatu yang diasuh oleh neneknya sejak kecil. Hubungan mereka lebih dari sekadar nenek dan cucu. Neneknya adalah rumah, sekolah, tempat berlabuh, dan sumber dukungan terbesar. Namun, Winarsih selalu merasa terbelah antara mengejar mimpinya menjadi seorang penulis dan tanggung jawabnya untuk menemani neneknya di kampung. Neneknya, yang penuh kasih dan bijaksana, pada mulanya memang menentang cita-cita Winarsih untuk merantau ke kota. Bahkan, saat mereka berdebat, tidak jarang neneknya mengeluarkan kata-kata yang menyakiti Winarsih sepertl “Kalau tahu saat kau besar kau hanya akan menentangku, lebih baik kubiarkan kau bersama bapak ibumu”. Jika sudah keluar kata-kata semacam itu, Winarsih akan menjawab “Aku tidak pernah meminta Nenek membesarkanku. Nenek benar, lebih baik aku mati bersama bapak ibuku”. Namun, begitulah keluarga, karena saling cinta dan kasih seringkali justru saling menyakiti. Setelah Winarsih menunjukkan tekad dan semangat yang sungguh-sungguh, kini malah Neneknya menyemangati Winarsih untuk pergi dan mengejar mimpinya. Selayaknya, cucu yang berbakti, Winarsih selalu mengirim uang ke neneknya dan video call untuk melepas kangen. Akan tetapi, frekuensinya berkurang karena Winarsih semakin sibuk. Winarsih pun tetap merasa bersalah karena jarang menelpon dan pulang, hanya uang biaya hidup nenek yang rutin Winarsih kirimkan.

Kebimbangan Winarsih semakin berat saat neneknya jatuh sakit, namun ia sudah memiliki berbagai proyek menulis yang menyita waktu. Winarsih memutuskan tetap melanjutkan pekerjaannya di kota, berharap suatu saat bisa pulang membawa kesuksesan sebagai hadiah untuk neneknya. Namun, takdir berkata lain, neneknya wafat saat ia tengah tenggelam dalam kesibukannya, meninggalkan Winarsih dalam kepedihan mendalam. Winarsih menyesali semuanya, selama ini dia menunda untuk pulang. Sebenarnya, Winarsih masih bisa pulang tapi dia selalu alasan sibuk; diskusi buku, bertemu teman penulis, datang ke pameran, revisi, bertemu editor buku, dan alasan lainnya yang benar-benar hanya alasan. Dalam lelahnya berjuang menjadi penulis hebat, Winarsih tidak jarang menyalahkan keadaan yang menimpanya. “Kenapa orang tuaku mati, sungguh orang tua yang egois sekali?”, “Kenapa tidak ada harta yang mereka tinggalkan?”, “Kenapa aku harus dibesarkan oleh nenek di kampung yang miskin?”, “Kenapa uang hasil kerja kerasku harus berkurang untuk membiaya hidup nenek di kampung?” Padahal uang itu bisa untuk membeli buku ataupun ikut kursus menulis seperti teman-teman penulis Winarsih yang sudah berhasil menerbitkan buku best seller. Bahkan, suatu malam saat ia harus membayar uang menerbitkan buku yang mahal dan uangnya harus untuk biaya tebus obat nenek, Winarsih pernah memikirkan bagaimana hidupnya akan menjadi tentram kalau Neneknya sudah tiada. Begitulah pikiran-pikiran Winarsih berkelana. Setelah Neneknya wafat, ia bahkan mulai kehilangan arah dalam menulis karena pikirannya terpecah antara rasa duka dan rasa bersalah.

Winarsih kini merasa kehilangan arah dan "rumah" tempatnya selalu merasa aman. Bayangan kehidupan masa kecilnya bersama nenek terus menghantui, menambah rasa bersalah yang makin mendalam. Dia merasa telah mengecewakan satu-satunya keluarga yang tersisa. Dia menyadari betapa besarnya peran nenek dalam hidupnya dan betapa dia selama ini lalai memberikan waktu untuk neneknya. Kemudian dia memutuskan untuk pulang ke rumah neneknya. Dia merasakan kekosongan yang luar biasa, baik di rumah itu maupun dalam hatinya. Tak terasa waktu sudah berjalan selama sebulan, ia hanya melakukan apa yang biasa neneknya lakukan saat neneknya masih hidup: membuat teh di pagi hari, membeli bubur untuk sarapan, pergi ke pasar membeli bahan-bahan, menjual gorengan,  bercengkerama dengan tetangga, membelikan jajan anak-anak kecil di sekitar rumah, dan tentunya merindukan seseorang. Saat Warsinah tertidur, ia bermimpi bertemu neneknya. Dalam mimpinya, neneknya tidak jauh berbeda saat masih hidup, sangat cantik. Neneknya mengatakan kalau dia sangat sedih melihat Winarsih dan menekankan kalau Winarsih tidak salah apapun. Neneknya justru berterima kasih karena Winarsih telah mewarnai hidup neneknya. Saat terbangun, Winarsih merasa lega hatinya. Dia mulai membereskan barang-barangnya dan memutuskan untuk menyudahi cuti dan kembali mengejar mimpinya.

Karya Farijihan Ardiyanti Putri
Sebagai penugasan di kelas webinar intensif Teknik Menciptakan Karakter yang Kuat dalam Cerita Fiksi pada 25 Oktober 2024.

Editor : Vanessa Natalie Aritonang